Sejarah Asal Usul Kota Surabaya - Jawa Timur

Nama Kota Surabaya berasal dari kata Sura dan Baya atau lebih dikenal dengan sebutan Sura ing Baya, dibaca Suro ing Boyo. Gabungan dua kata itu diartikan “berani menghadapi tantangan”. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata Cura Bhaya atau Curabhaya. Penulisan nama atau penyebutan Surabaya sebelumnya pernah ditulis sebelumnya dengan : Surabaia, Soerabaia, Seoarabaja dan Surabaja.

Asal Usul dan Sejarah Terjadinya Kota Surabaya 

Nama Ujunggaluh (Hujunggaluh) sudah tersebut dalam sumber sejarah berupa prasasti abad X (905 AD, 907 AD, 930 AD, serta 934 AD), tetapi bahwa Ujunggaluh adalah sebuah pelabuhan dagang yang berada di Kali brantas baru diketahui dari prasasti Kelagen (sekarang di Dukuh Kelagen, Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo) yang dibuat atas perintah Raja Airlangga pada tahun Saka 959 atau tahun 1037 AD.

Suatu petunjuk yang memberikan keterangan agak pasti tentang letak Ujunggaluh baru muncul pada permulaan abad XIII dari buku Chu Fan Chi tulisan Chau Ju Kua (1220 AD) yang menyebutkan bahwa pada waktu itu Ujunggaluh menghasilkan garam teluk (bay salt), biribiri, dan burung kakaktua. Karena Ujunggaluh menghasilkan garam, tentu letaknya di pantai.
Sejarah Asal Usul Kota Surabaya - Jawa Timur
Icon Kota Surabaya
Data-data dari sumber-sumber sejarah yang berupa prasasti Kelagen (1037 AD), tulisan buku Chau Ju Kua (1220 AD), kronik dinasti Yuan (1293), Kidung Harsa Wijaya (abad XVII), buku Pararaton (abad XVIII), membawa kita pada kesimpulan bahwa lokasi Ujunggaluh pada abad XIII berada di kotamadya Surabaya sekarang.

Banyaknya kampung-kampung di Kotamadya Surabaya yang memakai kata kali, misalnya Kaliasin, Kaliwaron, Kali-kepiting, Darmokali, Ketabangkali, Kalidami, dan lain-lain, kiranya merupakan petunjuk bahwa di Ujunggaluh pada abad XIII banyak terdapat sungai. Sumber tertulis tertua yang menyebutkan nama Surabaya adalah Prasasti Trowulan I dari tahun 1358 AD (tahun Saka 1280), yakni sebagai nama desa yang termasuk kelompok desa di tepi sungai, sebagai tempat penambangan (naditira pradesa) yang dulu sudah ada.

Sejak mundurnya kerajaan Majapahit pada awal abad XV, Surabaya kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam yang dipimpin oleh Raden Rakhmat atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel. Kepemimpinan Sunan Ampel ini mendapat restu dari Majapahit.

Pada waktu itu Malak menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan sekaligus juga sebagai pusat penyebaran agama Islam di Asia Tenggara. Hal ini makin memantapkan kedudukan Surabaya dan Gresik sebagai pusat penyebaran Islam, khususnya di sepanjang jalur pelayaran Laut Jawa, karena para saudagar Jawa yang menguasai perdagangan antara Maluku-Jawa-Malaka.

Peranan dan pengaruh Surabaya sangat besar dalam proses pengislaman Jawa. Atas jasa Surabaya pula muncul kota-kota pelabuhan sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di sepanjang pantai utara jawa. Antara lain adalah kota gresik, Sedayu, dan Tuban, serta Demak yang kemudian menjadi pusat kesultanan Demak di bawah Raden Fatah.

Setelah wafatnya Sunan Ampel, kepemimpinan Islam di Surabaya berpindah ke Giri dan Gresik. Sedangkan pengganti Sunan Ampel yang menguasai Surabaya adalah putranya, Sunan Drajat, kemudian berturu-turut adalah Kiaji Gede Pemburuan, Panembahan Romo, Pangeran Suroboyo, Tumenggung Surdipuro, Kiaji Tumenggung Natar Wong Pati, dan Kiaji Arip Kertosono.

Juga pernah ada sebuah pemerintahan yang terdiri dari 11 orang yang disebut ’Hoemboels’ dan dipimpin oleh Prumus inter Paris. Sesudah itu menyusul nama-nama Bupati Kiaji Nilisroyo, Raden Nolo Dito, Trunojoyo, Pati Bondang, dan Panji Wirio Kromo seorang pangeran buta yang diberi nama ”Raja”, Pangeran Pekik.

Pada abad XVII, menurut buku Tung Hsi Yang Kau, disebutkan Gresik telah menguasai wilayah Surabaya dan Yortan (Bangil). Bahkan disebutkan Surabaya sudah tidak begitu penting sekali, karena sebagian besar pedagang telah pindah ke Yortan.

Nama dan peranan Surabaya muncul secara pasti pada masa awal pertumbuhan Majapahit. Tentara Tartar berhasil dihancurkan oleh R. Wijaya di daerah yang bernama Ujunggaluh pada tanggal 31 Mei 1293 AD. Kemudian peristiwa heroik itu dimitoskan dan dilambangkan sebagai pertempuran antara ikan Sura dan Baya ( Surabaya), dan selanjutnya dipakai sebagai sebutan baru bagi Ujunggaluh.

Sejarah Kota Surabaya

Pada tanggal 31 Mei 1293 Raden Wijaya (Pendiri Kerajaan Majapahit) dengan keberanian dan semangat dan jiwa kepahlawanan berhasil menghancurkan dan mengusir tentara Tar-Tar, pasukan kaisar Mongolia dari bumi Majapahit. Tentara Tar-Tar meninggalkan Majapahit melalui Ujung galuh, sebuah desa yang terletak di ujung utara Utara Surabaya, di muara Kali Mas.

Kerajaan Surabaya yang luput dari catatan sejarah sudah saya singgung. Sastrawan Surakarta, Ki Padmosusastro 1902, mencatat penggal kisah kerajaan kecil di sudut Bang Wetan (Jawa Timur) ini dalam Kitab ‘Sedjarah Dalem’ yang saya baca beberapa waktu lalu. Setidaknya bisa menambah refrensi.

Kerajaan Surabaya diperkirakan lahir 1365, jauh lebih tua dibanding Mataram yang lahir pada 1577. Namun kerajaan Surabaya secara resmi bubar setelah kekuasaan jajahan Mataram di Bang Wetan ‘beralih’ ke kompeni 1755. Akhir kerajaan Surabaya, tidak lepas dari pengaruh Mataram.

Namun kekuasaan Surabaya baru benar-benar hilang ketika penguasa Hindia Belanda Van Imhoff, berkunjung ke Surabaya pada 11 April 1746. Diperkirakan kerajaan ini berdiri selama tidak kurang dari 375 tahun.

Digambarkan, Pengaruh Kerajaan Surabaya meliputi Bang Wetan, Kalimatan Selatan, Kalimatan Timur, Pulau Sulawesi bagian tengah hingga selatan dan sebagian kepulauan Maluku bagian selatan. Surabaya adalah kerajaan niaga terakhir yang memiliki hubungan dengan Portugis, Belanda, Inggris, dan Tiongkok.

Menurut Padmosusastro, tidak tercatatnya nama raja-raja Surabaya karena minimnya sastra tulis, seperti lazimnya kerjaaan di pedalaman Jawa. Namun penguasa Surabaya yang paling terkenal adalah raja abad 17 karena keberaniannya menolak hegemoni tiga raja Mataram. Catatan Padmosusastro menyebut nama Raja Surabaya itu adalah Jayalengkara. Putra raja ini lebih tersohor, yaitu Pangeran Pekik.

Dari tahun 1483-1542 Surabaya merupakan bagian dari wilayah kerajaan Demak. Sesudah itu kurang lebih 30 tahun Surabaya ada di bawah kekuasaan supremasi Madura. dan antara 1570 sampai 1587 Surabaya ada di bawah dinasti Pajang.

Pada tahun 1596, orang Belanda pertama kali datang ke Jawa Timur di bawah pimpinan Cornelis Houtman. Pada tahun 1612 Surabaya sudah merupakan bandar perdagangan yang ramai. Banyak pedagang Portugis membeli rempah-rempah dari pedagang pribumi. Pedagang pribumi membeli rempah-rempah secara sembunyi-sembunyi dari Banda, meskipun telah ada persetujuan dengan VOC yang melarang orang-orang Banda berdagang untuk kepentingannya sendiri.

Setelah tahun 1625 Surabaya jatuh ke tangan kerajaan Mataram. Setelah takluk dari kerajaan Mataram, tahun 1967 Surabaya mengalami kekacauan akibat serangan para bajak laut yang berasal dari Makasar. Pada saat keadaan tidak menentu inilah muncul nama Trunojoyo, seorang pangeran dari Mataram dari suku Madura, yang memberontak terhadap Raja Mataram. Dengan pertolongan orang-orang Makasar Trunojoyo berhasil menguasai Madura dan Surabaya.

Di bawah kekuasaan Trunojoyo, Surabaya menjadi pelabuhan transit dan tempat penimbunan barang-barang dari daerah subur, yaitu delta Brantas. Kalimas menjadi “sungai emas” yang membawa barang-barang berharga dari pedalaman.

Dengan alasan ingin membantu Mataram, pada tahun 1677 Kompeni mengirim Cornelis Speelman yang dilengkapi dengan angkatan perang yang besar ke Surabaya. Benteng Trunojoyo akhirnya dapat dikuasai Speelman. Kemudian Gubernur Jenderal Couper mengembalikan Surabaya kepada Mataram.

Pada abad 18, tahun 1706, Surabaya menjadi ajang pertempuran antara Kompeni dibawah pimpinan Govert Knol dan Untung Surapati.

Setelah peperangan terus menerus, tanggal 11 Nopember 1743 Paku Buwono II dari kerajaan Mataram dan Gubernur Jenderal Van Imhoff di Surakarta menanda-tangani sebuah persetujuan yang menyatakan bahwa ia menyerahkan haknya atas pantai utara Pulau Jawa dan Madura (termasuk di antaranya di Surabaya) kepada pihak VOC yang telah memberikan bantuan hingga ia berhasil naik tahta di kerajaan Mataram.Tetapi pasukan Hindia Belanda baru mengunjungi Surabaya pada tanggal 11-April-1746.

VOC mendirikan struktur pemerintahan baru di daerah pantai utara Pulau Jawa dan Madura dengan kedudukan gubernur di Semarang. Di Surabaya diangkat seorang Gezaghebber in den Oostthoek (Penguasa Bagian Timur Pulau Jawa).

Antara Tahun 1794-1798 Penguasa Bagian Timur Pulau Jawa adalah Dirk van Hogendorp.

Pada tanggal 6 September 1799, Fredrick Jacob Rothenbuhler menggantikan Van Hogendorp berkuasa sampai tahun 1809. Pada tahun 1807 Surabaya mendapat Serangan dari angkatan laut Inggris di bawah pimpinan Admiral Pillow yang akhirnya meninggalkan Surabaya.

Setelah kebangkrutan VOC, Hindia Belanda diserahkan kepada pemerintah Belanda. Tahun 1808-1811 Surabaya di bawah pemerintahan langsung Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang menjadikan Surabaya sebagai kota Eropa kecil. Surabaya dibangun menjadi kota dagang sekaligus kota benteng.

Tahun 1811-1816 Surabaya berada dibawah kekuasaan Inggris yang dijabat oleh Raffles. Tahun 1813 Surabaya menjadi sebuah kota yang dapat dibanggakan, sampai-sampai William Thorn dalam buku Memoir of Conguest of Java berpendapat bahwa Kota Gresik (pada masa sebelumnya menjadi kota pelabuhan yang ramai) sudah menjadi kuno bila dibandingkan dengan Surabaya.

Setelah itu Surabaya kembali dikuasai Belanda. Tahun 1830-1850, Surabaya betul-betul berbentuk sebagai kota benteng dengan benteng Prins Hendrik ada di muara Kalimas. Pada tahun 1870, Surabaya terus berkembang ke selatan menjadi kota modern.

Referensi:
https://www.kaskus.co.id/thread/512b751e1976087d6d00000e/asal-usul-dan-sejarah-terjadinya-kota-surabaya/
https://sejarahlengkap.com/indonesia/sejarah-kota-surabaya
https://www.surabaya.go.id/id/page/0/4758/sejarah-kota-surabaya/
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/02/26/asal-nama-surabaya-bukan-hiu-dan-buaya
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama