Mayoritas, kita mengenal Singapura sebagai tetangga yang super sempurna. Sebuah negara-kota yang teratur, bersih, disiplin, tertata rapi, dan penuh pusat-pusat hiburan belanja. Namun, tahukah Anda seperti apa sejarah negara Singapura hingga menjadi metropolitan seperti sekarang?
Bagian Kerajaan Sriwijaya
Kita yang pernah belajar sejarah di sekolah pasti tahu bahwa Singapura dulunya pernah menjadi bagian Kerajaan Sriwijaya. Tepatnya, pada abad ke-14. Singapura saat itu bernama 'Temasek’ alias Kota Laut karena kondisi geografisnya.
Sang Nila Utama, seorang Raja Sriwijaya, lantas mengganti nama kota itu dengan Singapura, diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘Kota Singa’. Namun, studi ilmiah menunjukkan bahwa populasi singa tidak pernah menghuni daratan Singapura. Diduga, yang sebenarnya terlihat oleh Sang Nila Utama adalah harimau.
Minimnya Sisa Arkeologis
Minimnya sisa-sisa arkeologis menyulitkan peneliti untuk mengetahui sepak terjang Singapura sejak Kerajaan Sriwijaya runtuh hingga koloni Inggris datang sekitar 1800-an. Sejumlah prasasti pernah ditemukan, namun dihancurkan oleh pihak Inggris.
Kopian abjad dari prasati tersebut hingga kini belum berhasil diterjemahkan karena bahasanya yang misterius. Namun, meski aksara itu tidak dapat dikenali, prasati tersebut menunjukkan Singapura telah lama menjadi pusat administrasi yang sibuk, jauh sebelum koloni Inggris ‘menemukan’ tempat ini.
Stamford Raffles
Sebuah nama yang hingga kini masih kita temui di sudut-sudut kota Singapura adalah Raffles. Thomas Stamford Raffles, seorang petinggi koloni Inggris yang dilantik di Bengkulu, populer sebagai tokoh pendiri Singapura modern.
Awal dekade 1800-an, ia menemukan sebuah desa nelayan milik Sultan Johor. Desa tersebut merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Melayu. Runding punya runding, akhirnya Sang Sultan memberikan lahan itu kepada East India Company pada 1824.
Pelabuhan Bebas
Kontan, desa nelayan yang semula berbukit-bukit dan penuh pohon buah itu berubah menjadi pusat bisnis internasional. Lokasinya yang strategis, berada antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan, menjadikan Singapura sebagai sasaran empuk para saudagar kapal dari berbagai negara untuk berlabuh.
Ditambah lagi, East India Company menjadikan Singapura sebagai pelabuhan bebas yang peraturan pajaknya tidak serepot pelabuhan lain. Sukses komersial ini membawa arus migrasi besar-besaran dari India, Asia Tenggara, dan China (yang terbanyak) menuju Singapura. Hingga hari ini, keturunan dari para pendatang inilah yang menjadikan Singapura sebagai kota penuh etnik.
Pusat Militer Inggris
Pada masa Perang Dunia I (1914-1918), Singapura dimanfaatkan menjadi pusat militer Inggris. Namun, pada 1942, Jepang mengambilalih kota ini dari Inggris. Setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II akibat serangan bom atom, kepemilikan atas Singapura kembali ke tangan Inggris.
Pada tahun-tahun berikutnya, Inggris mengubah bentuk Singapura menjadi semacam koloni yang mandiri dan dipimpin oleh warga lokal sendiri. Semula, Singapura sempat bergabung dengan Federasi Malaysia (yang terdiri atas Sabah dan Serawak).
Kerja sama ini bersifat simbiosis mutualisme; Singapura yang mungil membutuhkan proteksi dari Malaysia, sedangkan Malaysia sendiri ingin mencegah Singapura berubah menjadi negara komunis karena kala itu para pemimpinnya berhaluan ‘kiri’.
Malaysia juga memindahkan sebagian penduduknya ke Singapura untuk ‘menyeimbangkan’ komposisi penduduk yang mayoritas beretnik China. Namun, kongsi ini pecah pada 1965.
Sejak saat itu, Singapura mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah negara republik dengan presiden pertama Inche Yusof bin Ishak. Sampai hari ini, Singapura terus berkembang menjadi sebuah metropolitan yang penuh kekayaan etnik dan penduduk yang sangat berfokus pada disiplin pendidikan untuk meraih prestasi ekonomi dengan moto “Majulah Singapura!"
sumber:
http://www.anneahira.com/
Bagian Kerajaan Sriwijaya
Kita yang pernah belajar sejarah di sekolah pasti tahu bahwa Singapura dulunya pernah menjadi bagian Kerajaan Sriwijaya. Tepatnya, pada abad ke-14. Singapura saat itu bernama 'Temasek’ alias Kota Laut karena kondisi geografisnya.
Sang Nila Utama, seorang Raja Sriwijaya, lantas mengganti nama kota itu dengan Singapura, diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘Kota Singa’. Namun, studi ilmiah menunjukkan bahwa populasi singa tidak pernah menghuni daratan Singapura. Diduga, yang sebenarnya terlihat oleh Sang Nila Utama adalah harimau.
Minimnya Sisa Arkeologis
Minimnya sisa-sisa arkeologis menyulitkan peneliti untuk mengetahui sepak terjang Singapura sejak Kerajaan Sriwijaya runtuh hingga koloni Inggris datang sekitar 1800-an. Sejumlah prasasti pernah ditemukan, namun dihancurkan oleh pihak Inggris.
Kopian abjad dari prasati tersebut hingga kini belum berhasil diterjemahkan karena bahasanya yang misterius. Namun, meski aksara itu tidak dapat dikenali, prasati tersebut menunjukkan Singapura telah lama menjadi pusat administrasi yang sibuk, jauh sebelum koloni Inggris ‘menemukan’ tempat ini.
Stamford Raffles
Sebuah nama yang hingga kini masih kita temui di sudut-sudut kota Singapura adalah Raffles. Thomas Stamford Raffles, seorang petinggi koloni Inggris yang dilantik di Bengkulu, populer sebagai tokoh pendiri Singapura modern.
Awal dekade 1800-an, ia menemukan sebuah desa nelayan milik Sultan Johor. Desa tersebut merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Melayu. Runding punya runding, akhirnya Sang Sultan memberikan lahan itu kepada East India Company pada 1824.
Pelabuhan Bebas
Kontan, desa nelayan yang semula berbukit-bukit dan penuh pohon buah itu berubah menjadi pusat bisnis internasional. Lokasinya yang strategis, berada antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan, menjadikan Singapura sebagai sasaran empuk para saudagar kapal dari berbagai negara untuk berlabuh.
Ditambah lagi, East India Company menjadikan Singapura sebagai pelabuhan bebas yang peraturan pajaknya tidak serepot pelabuhan lain. Sukses komersial ini membawa arus migrasi besar-besaran dari India, Asia Tenggara, dan China (yang terbanyak) menuju Singapura. Hingga hari ini, keturunan dari para pendatang inilah yang menjadikan Singapura sebagai kota penuh etnik.
Pusat Militer Inggris
Pada masa Perang Dunia I (1914-1918), Singapura dimanfaatkan menjadi pusat militer Inggris. Namun, pada 1942, Jepang mengambilalih kota ini dari Inggris. Setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II akibat serangan bom atom, kepemilikan atas Singapura kembali ke tangan Inggris.
Pada tahun-tahun berikutnya, Inggris mengubah bentuk Singapura menjadi semacam koloni yang mandiri dan dipimpin oleh warga lokal sendiri. Semula, Singapura sempat bergabung dengan Federasi Malaysia (yang terdiri atas Sabah dan Serawak).
Kerja sama ini bersifat simbiosis mutualisme; Singapura yang mungil membutuhkan proteksi dari Malaysia, sedangkan Malaysia sendiri ingin mencegah Singapura berubah menjadi negara komunis karena kala itu para pemimpinnya berhaluan ‘kiri’.
Malaysia juga memindahkan sebagian penduduknya ke Singapura untuk ‘menyeimbangkan’ komposisi penduduk yang mayoritas beretnik China. Namun, kongsi ini pecah pada 1965.
Sejak saat itu, Singapura mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah negara republik dengan presiden pertama Inche Yusof bin Ishak. Sampai hari ini, Singapura terus berkembang menjadi sebuah metropolitan yang penuh kekayaan etnik dan penduduk yang sangat berfokus pada disiplin pendidikan untuk meraih prestasi ekonomi dengan moto “Majulah Singapura!"
sumber:
http://www.anneahira.com/