Sejarah Awal Di Bangun Candi Muara Takus, Riau - Nama Muara Takus mungkin belum sepopuler Candi Borobudur, Prambanan. Akan tetapi nuansa sejarah yang ditawarkan tidak kalah menarik.Candi Muara Takus merupakan candi terbesar di Sumatera. Stupa candi ini tidak lazim seperti candi aliran Budha lainnya. Umumnya Stupa candi - candi Budha berbentuk lonceng duduk. Lokasi wisata ini terletak sekitar 135 km dari kota Pekanbaru.
Candi Muara Takus merupakan candi penganut agama Buddha. Ada yang berpendapat bahwa candi ini peninggalan agama Buddha yang datang dari India karena bentuknya mirip dengan Candi Acoka yang ada di India. Namun ada pula yang berpendapat bahwa ini merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya.
Dalam sejarahnya, Desa Muara Takus sebelum menjadi pusat pengajaran agama Budha, merupakan sebuah daerah yang dulunya sempat disinggahi pelaut-pelaut dari Kerajaan Sriwijaya dengan menyusuri Sungai Kampar Kanan.
Pertemuan antarbudaya pun terjadi hingga akhirnya didirikanlah Candi Muara Takus untuk tempat peribadatan.
Pandangan ini didasarkan pada tafsirannya atas catatan pendeta Budha asal Cina, I-tsing, yang pernah tinggal di kerajaan itu untuk mempelajari tata bahasa Sanskerta pada 672. Persinggahan I-tsing dilakukan dalam perjalanan dari Kanton menuju Nalanda, pusat pendidikan agama Budha di India.
Dari Sriwijaya, pendeta itu sempat menetap di Kerajaan Melayu selama dua bulan, lalu berlayar dan tinggal sebentar di Kedah. Sekembali dari Nalanda pada 685, ia mendapati bahwa Kerajaan Sriwijaya telah meluaskan kekuasaannya dan menjadikan Kerajaan Melayu sebagai daerah taklukannya.
Menurut Moens, catatan I-tsing yang menyebutkan bahwa di pusat Kerajaan Sriwijaya pada tengah hari orang berdiri tanpa bayangan merujuk pada lokasi di garis khatulistiwa. Lalu lokasi Muara Takus berada dekat dengan pertemuan dua sungai, Kampar Kanan dan Batang Mahat, yang menjadi jalur perdagangan yang ramai.
Tambahan lagi, terdapat bukti bahwa pusat kerajaan itu sering berpindah mengikuti jalur perdagangan yang ramai. Ia pun menyimpulkan, setelah menguasai Kerajaan Melayu, pusat Kerajaan Sriwijaya pindah ke Muara Takus. Tapi menurut Prof. Dr. Herwandi, Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, banyak sarjana yang memperkirakan bahwa Kerajaan Melayu yang dikuasai Sriwijaya ketika itu berlokasi di Jambi sekarang.
Perkiraan ini terutama berdasarkan pada hasil penelitian geomorfologi pantai timur Sumatera pada 1950-an. Hasil penelitian itu menyimpulkan, pada abad ketujuh, Jambi dan Palembang masih berada dekat dengan laut. "Makin ke sini, menurut para ahli pantai, daratan pantai timur ini bertambah 75 meter setiap tahun," ujarnya.
Selain itu, dilihat dari letaknya, Jambi memiliki kedudukan lebih strategis dalam lalu lintas pelayaran dan jalur perdagangan dari India ke Cina, juga Jawa. Lebih-lebih, di Jambi ada peninggalan kompleks candi Budha yang sangat luas. Pakar sejarah dan filologi Indonesia pun, seperti Slamet Muljana, lebih cenderung menyatakan bahwa Kerajaan Melayu ketika itu terletak di muara Sungai Batanghari atau Jambi sekarang.
Lepas dari pro-kontra soal riwayat Muara Takus itu, satu hal dapat dipastikan: gugusan candi di Muara Takus ditemukan geolog berkebangsaan Belanda, Cornet de Groot, pada 1860. Memang, temuan ini tidak menjawab pertanyaan kapan pastinya kompleks candi itu dibangun. J.L. Moens, sesuai dengan kesimpulannya ihwal pusat Kerajaan Sriwijaya, memperkirakan bahwa kompleks candi itu dibangun pada abad ketujuh.
Pakar arkeologi Jerman, F.M. Schnitger, berpandangan lain lagi. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya pada 1935, 1936, dan 1938, ia menyatakan kompleks candi itu dibangun pada abad ke-11 dan ke-12. Namun ada pakar lainnya menyatakan bahwa candi-candi itu dibangun pada masa sebelum itu, yakni sekitar abad ke-10.
Sayangnya, belum ditemukan prasasti atau catatan sejarah yang menentukan kapan pastinya kompleks candi Budha Tantrayana itu dibangun. Tabir sejarah Candi Muara Takus boleh jadi sedikit terbuka dari prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Salah satunya adalah Prasasti Kedukan Bukit tahun 604 Saka, yang bertepatan dengan tahun 683 Masehi.
Dalam prasasti itu tertulis bahwa Dapunta Hyang Sri Jayanasa, penguasa Sriwijaya pada masa itu, melakukan perjalanan naik perahu membawa puluhan ribu tentara. Perjalanan dari Minanga Tamwan ini dilakukan pada hari ketujuh bulan Jesta ke arah selatan. Ada sejarawan yang menafsirkan, kawasan Minanga Tamwan adalah kawasan Muara Takus sekarang.
Referensi:
http://www.putridumai.com/2012/10/stay-connect-latest-posts-in-rss-latest.html
http://candimuaratakusx.blogspot.com/
Candi Muara Takus merupakan candi penganut agama Buddha. Ada yang berpendapat bahwa candi ini peninggalan agama Buddha yang datang dari India karena bentuknya mirip dengan Candi Acoka yang ada di India. Namun ada pula yang berpendapat bahwa ini merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya.
Dalam sejarahnya, Desa Muara Takus sebelum menjadi pusat pengajaran agama Budha, merupakan sebuah daerah yang dulunya sempat disinggahi pelaut-pelaut dari Kerajaan Sriwijaya dengan menyusuri Sungai Kampar Kanan.
Pertemuan antarbudaya pun terjadi hingga akhirnya didirikanlah Candi Muara Takus untuk tempat peribadatan.
Pandangan ini didasarkan pada tafsirannya atas catatan pendeta Budha asal Cina, I-tsing, yang pernah tinggal di kerajaan itu untuk mempelajari tata bahasa Sanskerta pada 672. Persinggahan I-tsing dilakukan dalam perjalanan dari Kanton menuju Nalanda, pusat pendidikan agama Budha di India.
Dari Sriwijaya, pendeta itu sempat menetap di Kerajaan Melayu selama dua bulan, lalu berlayar dan tinggal sebentar di Kedah. Sekembali dari Nalanda pada 685, ia mendapati bahwa Kerajaan Sriwijaya telah meluaskan kekuasaannya dan menjadikan Kerajaan Melayu sebagai daerah taklukannya.
Menurut Moens, catatan I-tsing yang menyebutkan bahwa di pusat Kerajaan Sriwijaya pada tengah hari orang berdiri tanpa bayangan merujuk pada lokasi di garis khatulistiwa. Lalu lokasi Muara Takus berada dekat dengan pertemuan dua sungai, Kampar Kanan dan Batang Mahat, yang menjadi jalur perdagangan yang ramai.
Tambahan lagi, terdapat bukti bahwa pusat kerajaan itu sering berpindah mengikuti jalur perdagangan yang ramai. Ia pun menyimpulkan, setelah menguasai Kerajaan Melayu, pusat Kerajaan Sriwijaya pindah ke Muara Takus. Tapi menurut Prof. Dr. Herwandi, Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, banyak sarjana yang memperkirakan bahwa Kerajaan Melayu yang dikuasai Sriwijaya ketika itu berlokasi di Jambi sekarang.
Perkiraan ini terutama berdasarkan pada hasil penelitian geomorfologi pantai timur Sumatera pada 1950-an. Hasil penelitian itu menyimpulkan, pada abad ketujuh, Jambi dan Palembang masih berada dekat dengan laut. "Makin ke sini, menurut para ahli pantai, daratan pantai timur ini bertambah 75 meter setiap tahun," ujarnya.
Selain itu, dilihat dari letaknya, Jambi memiliki kedudukan lebih strategis dalam lalu lintas pelayaran dan jalur perdagangan dari India ke Cina, juga Jawa. Lebih-lebih, di Jambi ada peninggalan kompleks candi Budha yang sangat luas. Pakar sejarah dan filologi Indonesia pun, seperti Slamet Muljana, lebih cenderung menyatakan bahwa Kerajaan Melayu ketika itu terletak di muara Sungai Batanghari atau Jambi sekarang.
Lepas dari pro-kontra soal riwayat Muara Takus itu, satu hal dapat dipastikan: gugusan candi di Muara Takus ditemukan geolog berkebangsaan Belanda, Cornet de Groot, pada 1860. Memang, temuan ini tidak menjawab pertanyaan kapan pastinya kompleks candi itu dibangun. J.L. Moens, sesuai dengan kesimpulannya ihwal pusat Kerajaan Sriwijaya, memperkirakan bahwa kompleks candi itu dibangun pada abad ketujuh.
Pakar arkeologi Jerman, F.M. Schnitger, berpandangan lain lagi. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya pada 1935, 1936, dan 1938, ia menyatakan kompleks candi itu dibangun pada abad ke-11 dan ke-12. Namun ada pakar lainnya menyatakan bahwa candi-candi itu dibangun pada masa sebelum itu, yakni sekitar abad ke-10.
Sayangnya, belum ditemukan prasasti atau catatan sejarah yang menentukan kapan pastinya kompleks candi Budha Tantrayana itu dibangun. Tabir sejarah Candi Muara Takus boleh jadi sedikit terbuka dari prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Salah satunya adalah Prasasti Kedukan Bukit tahun 604 Saka, yang bertepatan dengan tahun 683 Masehi.
Dalam prasasti itu tertulis bahwa Dapunta Hyang Sri Jayanasa, penguasa Sriwijaya pada masa itu, melakukan perjalanan naik perahu membawa puluhan ribu tentara. Perjalanan dari Minanga Tamwan ini dilakukan pada hari ketujuh bulan Jesta ke arah selatan. Ada sejarawan yang menafsirkan, kawasan Minanga Tamwan adalah kawasan Muara Takus sekarang.
Referensi:
http://www.putridumai.com/2012/10/stay-connect-latest-posts-in-rss-latest.html
http://candimuaratakusx.blogspot.com/
ulasan menarik
BalasHapus